0
0
Industri teknologi global memiliki mitos tentang “insinyur 10x” atau super-coder—seorang individu yang produktivitasnya setara dengan sepuluh rekan kerja biasa. Dalam konteks startup Indonesia yang sedang berjuang untuk tumbuh cepat, keberadaan talenta semacam ini dianggap sebagai ‘jalan pintas’ menuju kesuksesan produk.
Namun, apakah fenomena ini nyata di Indonesia? Banyak pemimpin teknologi berpendapat bahwa “10x” bukanlah tentang mengetik kode sepuluh kali lebih cepat. Ini adalah tentang dampak. Super-coder di konteks lokal adalah mereka yang mampu merancang arsitektur sistem yang scalable, memilih tumpukan teknologi (tech stack) yang tepat, dan menulis kode bersih yang mudah dikelola oleh tim.
Tantangannya, budaya “super-coder” bisa menjadi toksik. Hal ini dapat menciptakan hero-culture, di mana satu orang menjadi pusat segalanya (single point of failure), menghambat kolaborasi, dan memicu burnout. Banyak startup Indonesia kini menyadari bahwa tim yang solid dan proses engineering yang baik jauh lebih berharga daripada satu atau dua “bintang”.
Di Indonesia, realitas “10x” mungkin berbeda. Ini bukan hanya tentang kejeniusan teknis, tetapi juga tentang pemahaman konteks lokal. Seorang insinyur yang memahami tantangan infrastruktur internet yang tidak merata, perilaku konsumen lokal, dan mampu menciptakan solusi yang ringan namun kuat, mungkin lebih bernilai “10x” daripada seorang jenius algoritma.
Pada akhirnya, perang talenta di Indonesia seharusnya tidak hanya fokus mencari super-coder individu. Investasi harus diarahkan pada penciptaan lingkungan yang memungkinkan setiap insinyur untuk menjadi “10x”—melalui alat yang lebih baik, otonomi, budaya belajar yang kuat, dan mentorship yang efektif.
