0
0
Konflik yang berkelanjutan di Eropa Timur telah mengirimkan gelombang kejutan signifikan ke pasar komoditas global, dengan efek yang terasa hingga ke Asia. Harga-harga energi, terutama gas alam dan minyak, melonjak drastis karena gangguan pasokan dan sanksi internasional yang diterapkan. Selain energi, kawasan Asia juga menghadapi kenaikan harga komoditas pangan utama seperti gandum, jagung, dan pupuk, yang menjadi kunci dalam menjaga ketahanan pangan dan kestabilan biaya produksi pertanian.
Bagi negara-negara Asia yang sangat bergantung pada impor bahan baku, kenaikan ini langsung memicu tekanan inflasi yang substansial. Pemerintah dan perusahaan harus mengeluarkan biaya lebih tinggi untuk mengamankan bahan baku, yang kemudian menyebabkan peningkatan harga barang jadi bagi konsumen. Hal ini menghambat upaya pemulihan ekonomi pascapandemi dan berpotensi memperburuk kerentanan pangan di negara-negara berpendapatan rendah di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Respons di kawasan ini mencakup diversifikasi sumber impor, peningkatan produksi domestik, dan intervensi pemerintah untuk mengendalikan harga melalui subsidi atau penetapan harga batas atas. Meskipun beberapa negara pengekspor komoditas di Asia mendapat keuntungan dari tingginya harga jual, terutama produsen batu bara dan minyak sawit, keuntungan ini seringkali tertutup oleh biaya impor yang lebih tinggi.
Mereka harus berjuang untuk menyeimbangkan neraca perdagangan dan stabilitas fiskal di tengah gejolak harga yang tak terhindarkan. Situasi ini mendorong Bank Sentral untuk menaikkan suku bunga demi meredam inflasi impor.
Konflik di Eropa Timur menimbulkan lonjakan harga komoditas energi dan pangan yang masif di pasar Asia, memicu inflasi dan meningkatkan kerentanan pangan di seluruh kawasan, memaksa negara-negara untuk melakukan intervensi harga dan diversifikasi sumber impor.
