Kenaikan Gig Worker di Asia Tenggara dan Tantangan Perlindungan Sosial

Kenaikan Gig Worker di Asia Tenggara dan Tantangan Perlindungan Sosial

0 0
Read Time:1 Minute, 42 Second

Jakarta – Fenomena “Gig Economy”—pekerjaan berbasis proyek atau tugas jangka pendek—telah meledak di Asia Tenggara, didorong oleh penetrasi smartphone yang tinggi dan platform digital yang berkembang pesat seperti ride-hailing, e-commerce, dan layanan pengiriman. Jutaan orang kini bergantung pada pekerjaan gig sebagai sumber pendapatan utama atau tambahan, menjadikannya tren ekonomi dan sosial yang signifikan di kawasan ini. Namun, lonjakan gig worker ini juga mengungkap tantangan besar terkait perlindungan sosial, keamanan kerja, dan status ketenagakerjaan yang ambigu.

Platform digital menawarkan fleksibilitas yang menarik bagi pekerja, memungkinkan mereka untuk menentukan jam kerja sendiri dan menjadi bos bagi diri mereka sendiri. Fleksibilitas ini sangat berharga di negara-negara dengan pasar kerja formal yang terbatas. Namun, di balik fleksibilitas tersebut terdapat risiko ketidakpastian pendapatan dan kurangnya jaringan pengaman tradisional. Sebagai kontraktor independen, gig worker seringkali tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan cuti sakit berbayar, tunjangan pensiun, atau asuransi pengangguran yang diberikan kepada karyawan penuh waktu.

Tantangan hukum dan regulasi adalah yang paling mendesak. Di banyak negara Asia Tenggara, undang-undang ketenagakerjaan belum mengejar ketertinggalan dengan model bisnis platform. Ada perdebatan yang intens mengenai apakah gig worker harus diklasifikasikan sebagai kontraktor independen atau sebagai karyawan. Klasifikasi sebagai karyawan akan memaksa perusahaan platform untuk menanggung biaya perlindungan sosial, yang secara signifikan dapat mengubah model bisnis mereka yang ramping dan bergantung pada biaya tenaga kerja rendah.

Tekanan terhadap perusahaan platform untuk menawarkan perlindungan sosial yang lebih baik semakin meningkat. Beberapa platform telah mulai menawarkan program asuransi kecelakaan yang didanai bersama, atau skema tabungan yang dimodifikasi, sebagai kompromi. Pemerintah juga mulai ikut campur, dengan beberapa negara mengembangkan skema jaminan sosial yang dirancang khusus untuk pekerja informal dan gig worker, mengakui kontribusi ekonomi mereka yang besar.

Ke depan, keseimbangan antara inovasi platform dan keadilan sosial akan menjadi kunci. Model ekonomi gig memiliki potensi untuk meningkatkan inklusi finansial, tetapi hanya jika diiringi dengan kebijakan yang memastikan bahwa pekerja tidak ditukar dengan fleksibilitas. Solusi berkelanjutan memerlukan kolaborasi antara pemerintah, platform, dan serikat pekerja untuk menciptakan “ekonomi gig yang adil” di mana pekerja menikmati manfaat digitalisasi tanpa mengorbankan keamanan dasar mereka.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%