Perubahan iklim kini bukan lagi ramalan, melainkan realitas. Gelombang panas ekstrem melanda berbagai belahan dunia, mencatat rekor suhu tertinggi dalam sejarah modern. Dampaknya terasa luas, dari kesehatan manusia hingga ekonomi global.
Eropa dan Asia mencatat suhu di atas 45 derajat Celsius selama berminggu-minggu. Ratusan orang meninggal akibat serangan panas, sementara ribuan lainnya dirawat di rumah sakit. Infrastruktur kota yang tidak siap semakin memperburuk kondisi.
Pertanian menjadi sektor yang paling terpukul. Tanaman gagal panen, ternak mati, dan pasokan pangan menurun drastis. Harga bahan makanan pun melambung, menambah tekanan pada masyarakat miskin.
Selain itu, gelombang panas juga memicu kebakaran hutan besar-besaran. Dari Kanada hingga Australia, jutaan hektar lahan terbakar, merusak ekosistem dan mengemisi karbon dalam jumlah masif.
Sektor energi pun kewalahan. Permintaan listrik melonjak untuk pendingin ruangan, sementara pasokan terganggu akibat kekeringan yang menurunkan kapasitas pembangkit hidro.
Organisasi internasional menyebut gelombang panas sebagai “peringatan keras” bagi dunia. Tanpa aksi nyata, bencana iklim akan semakin sering terjadi, dengan dampak semakin parah.
Solusi jangka pendek adalah adaptasi. Kota-kota mulai membangun ruang hijau, sistem pendingin alami, dan infrastruktur tahan panas. Namun, solusi jangka panjang tetap pada pengurangan emisi karbon global.
Kesimpulannya, gelombang panas ekstrem adalah alarm darurat bagi umat manusia. Dunia harus segera bertransisi ke energi bersih, jika tidak ingin bencana iklim menjadi normal baru.